Beranda | Artikel
BARZANZI, KITAB INDUK PERINGATAN MAULID NABI
Jumat, 4 Februari 2022

Seputar Kitab Barzanji

Secara umum peringatan maulid Nabi ﷺ selalu disemarakkan dengan shalawatan dan puji-pujian kepada Rasulullah ﷺ , yang mereka ambil dari kitab Barzanji maupun Daiba’, ada kalanya ditambah dengan senandung Qasîdah Burdah. Meskipun kitab Barzanji lebih populer di kalangan orang awam daripada yang lainnya, tetapi biasanya kitab Daiba’, Barzanji dan Qasidah Burdah dijadikan satu paket untuk meramaikan maulid Nabi ﷺ yang diawali dengan membaca Daiba’, lalu Barzanji, kemudian ditutup dengan Qasîdah Burdah. Biasanya kitab Barzanji menjadi kitab induk peringatan maulid Nabi ﷺ , bahkan sebagian pembacanya lebih tekun membaca kitab Barzanji daripada membaca al-Qur’an. Maka tidak aneh jika banyak di antara mereka yang lebih hafal kitab Barzanji bersama lagu-lagunya dibanding al-Quran. Fokus pembahasan dan kritikan terhadap kitab Barzanji ini adalah karena populernya, meskipun penyimpangan kitab Daiba’ lebih parah daripada kitab Barzanji. Berikut uraiannya :

Secara umum kandungan kitab Barzanji terbagi menjadi tiga :

1) Cerita tentang perjalanan hidup Nabi ﷺ dengan sastra bahasa tinggi yang terkadang tercemar dengan riwayat-riwayat lemah.

2) Syair-syair pujian dan sanjungan kepada Nabi ﷺ dengan bahasa yang sangat indah, namun telah tercemar dengan muatan dan sikap ghuluw (berlebihan).

3) Shalawat kepada Nabi ﷺ , tetapi telah bercampur aduk dengan shalawat bid’ah dan shalawat-shalawat yang tidak berasal dari Rasulullah ﷺ .

Penulis Kitab Barzanji

Kitab Barzanji ditulis oleh “Ja’far al-Barzanji al-Madani, dia adalah khathîb di Masjidil Harâm dan seorang mufti dari kalangan Syâfi’iyyah. Wafat di Madinah pada tahun 1177H/1763 M dan di antara karyanya adalah Kisah Maulid Nabi ﷺ . 1

Sebagai seorang penganut paham tasawwuf yang bermadzhab Syiah tentu Ja’far al-Barjanzi sangat mengkultuskan keluarga, keturunan dan Nabi Muhammad ﷺ . Ini dibuktikan dalam doanya “Dan berilah taufik kepada apa yang Engkau ridhai pada setiap kondisi bagi para pemimpin dari keturunan az-Zahrâ di bumi Nu’mân”.2

Kesalahan Umum Kitab Barzanji

Kesalahan kitab Barzanji tidak separah kesalahan yang ada pada kitab Daiba‘ dan Qasîdah Burdah. Namun, penyimpangannya menjadi parah ketika kitab Barzanji dijadikan sebagai bacaan seperti al-Qur’an. Bahkan, dianggap lebih mulia dari pada al Qur’an. Padahal, tidak ada nash syar’î yang memberi jaminan pahala bagi orang yang membaca Barzanji, Daiba‘ atau Qasîdah Burdah. Sementara, membaca al-Qur’an yang jelas pahalanya, kurang diperhatikan. Bahkan, sebagian mereka lebih sering membaca Barzanji daripada membaca al-Qur’an apalagi pada saat perayaan maulid Nabin. Padahal Nabi ﷺ bersabda:

مَن قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَاأَقُوْلُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلفٌ حَرْفٌ ولَّامُ حَرْفٌ وَمِيْمٌ حَرْفٌ

Barang siapa membaca satu huruf dari al-Qur’an maka dia akan mendapatkan satu kebaikan yang kebaikan tersebut akan dilipatgandakan menjadi 10 pahala. Aku tidak mengatakan Alif Lâm Mîmssatu huruf. Akan tetapi, Alifd satu huruf, lâmd satu huruf mîmd satu huruf .3

Kesalahan Khusus Kitab Barzanji

Adapun kesalahan yang paling fatal dalam kitab Barzanji antara lain:

  • Kesalahan Pertama

Penulis kitab Barzanji menyakini melalui ungkapan syairnya bahwa kedua orang tua Rasulullah ﷺ termasuk ahlul Iman dan termasuk orang-orang yang selamat dari neraka bahkan ia mengungkapkan dengan sumpah.

وَقَدْ أَصْبَحَا وَاللَّهِ مِنْ أَهْلِ الإِيْمَانِ

وَجَاءَ لِهَذَا فِيْ الْحَدِيْثِ شَوَاهِدُ

وَمَالَ إِلَيْهِ الجَمُّ مِنْ أَهْلِ الِعِرْفَانِ

فَسَلِّمْ فَإِنَّ اللَّهَ جَلَّ جَلاَ لُهُ

وإِنَّ الإِمَامَ الأَشْعَرِيَ لَمُثْبِتُ

نَجَاتُهَمَا نَصًّا بِمُحْكَمِ تِبْيَانِ

Dan sungguh kedua (orang tuanya) demi Allah سبحانه وتعالى termasuk ahli iman

dan telah datang dalîl dari hadîts sebagai bukti-buktinya.

Banyak ahli ilmu yang condong terhadap pendapat ini

maka ucapkanlah salam karena sesungguhnya Allah Maha Agung.

Dan sesungguhnya Imam al-Asy’ari menetapkan bahwa keduanya selamat menurut nash tibyan (al-Qur’an).4

Jelas, yang demikian itu bertentangan dengan hadîts dari Anas z bahwa sesungguhnya seorang laki-laki bertanya: “Wahai Rasulullah ﷺ , di manakah ayahku (setelah mati)?” Beliau ﷺ bersabda: “Dia berada di Neraka.” Ketika orang itu pergi, beliau ﷺ memanggilnya dan bersabda: “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu berada di Neraka”.5

Imam Nawawi-rahimahullah-berkata: “Makna hadits ini adalah bahwa barangsiapa yang mati dalam keadaan kafir, ia kelak berada di Neraka dan kedekatan kerabat tidak berguna baginya. Begitu juga orang Arab penyembah berhala yang mati pada masa fatrah (jahiliyah), maka ia berada di Neraka. Ini tidak menafikan penyampaian dakwah kepada mereka, karena sudah sampai kepada mereka dakwah nabi Ibrahim q dan yang lainnya.”6

Semua hadits yang menjelaskan tentang dihidupkannya kembali kedua orang Nabi ﷺ dan keduanya beriman serta selamat dari neraka semuanya palsu, diada-adakan secara dusta dan lemah sekali serta tidak ada satupun yang shahîh. Para ahli hadits sepakat akan kedhaifannya seperti Dâruquthni, al-Jauzaqani, Ibnu Syahin, al-Khathîb, Ibnu Asâkir, Ibnu Nashr, Ibnul Jauzi, as-Suhaili, al-Qurthubi, at-Thabari dan Fathuddin Ibnu Sayyidin Nas.7

Adapun anggapan bahwa Imam al-Asyari berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi ﷺ beriman, harus dibuktikan kebenarannya. Memang benar, Imam as-Suyuthi-rahimahullah-berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi ﷺ beriman dan selamat dari neraka, namun hal ini menyelisihi para hâfidz dan para ulama peneliti hadîts.8

  • Kesalahan Kedua

Penulis kitab Barzanji mengajak para pembacanya agar mereka menyakini bahwa Rasulullah ﷺ hadir pada saat membaca shalawat, terutama ketika Mahallul Qiyâm (posisi berdiri), hal itu sangat nampak sekali di awal qiyâm (berdiri) membaca:

مَــرْحَبًا يَا مَرْحَبًا يَا مَرْحَبًا

مَرْحَبًا يَا جَدَّ الْحُسَيْنِ مَرْحَبًا

Selamat datang, selamat datang, selamat datang, selamat datang wahai kakek Husain selamat datang.

Bukankah ucapan selamat datang hanya bisa diberikan kepada orang yang hadir secara fisik? Meskipun di tengah mereka terjadi perbedaan, apakah yang hadir jasad nabi Muhammad ﷺ bersama ruhnya ataukah ruhnya saja. Muhammad Alawi al-Maliki (seorang pembela perayaan maulid-red) mengingkari dengan keras pendapat yang menyatakan bahwa yang hadir adalah jasadnya. Menurutnya, yang hadir hanyalah ruhnya.

Padahal Rasulullah ﷺ telah berada di alam Barzah yang tinggi dan ruhnya dimuliakan Allah سبحانه وتعالى di surga, sehingga tidak mungkin kembali ke dunia dan hadir di antara manusia.

Pada bait berikutnya semakin jelas nampak bahwa Rasulullah ﷺ diyakini hadir, meskipun sebagian mereka meyakini yang hadir adalah ruhnya.

يَانَبِيْ سَلَامٌ عَلَيْكَ

يَارَسُوْلُ سَلَامٌ عَلَيْكَ

يَاحَبِيْبُ سَلَامٌ عَلَيْكَ

صَلَوَاتُ اللَّهِ عَلـَــيْكَ

Wahai Nabi salam sejahtera atasmu,

wahai Rasul salam sejahtera atasmu.

Wahai kekasih salam sejahtera atasmu,

semoga rahmat Allah tercurah atasmu.

Para pembela Barzanji seperti penulis “Fikih Tradisionalis” berkilah, bahwa tujuan membaca shalawat itu adalah untuk mengagungkan nabi Muhammad ﷺ . Menurutnya, salah satu cara mengagungkan seseorang adalah dengan berdiri, karena berdiri untuk menghormati sesuatu sebetulnya sudah menjadi tradisi kita. Bahkan tidak jarang hal itu dilakukan untuk menghormati benda mati. Misalnya, setiap kali upacara bendera dilaksanakan pada hari Senin, setiap tanggal 17 Agustus, maupun pada waktu yang lain, ketika bendera merah putih dinaikkan dan lagu Indonesia Raya dinyanyikan, seluruh peserta upacara diharuskan berdiri. Tujuannya tidak lain adalah untuk menghormati bendera merah putih dan mengenang jasa para pejuang bangsa. Jika dalam upacara bendera saja harus berdiri, tentu berdiri untuk menghormati Nabi ﷺ lebih layak dilakukan, sebagai ekspresi bentuk penghormatan kepada beliau ﷺ . Bukankah Nabi Muhammad ﷺ adalah manusia teragung yang lebih layak dihormati dari pada orang lain?9

Ini adalah qiyâs yang sangat rancu dan rusak. Bagaimana mungkin menghormati Rasul ﷺ disamakan dengan hormat bendera ketika upacara, sedangkan kedudukan beliau ﷺ sangat mulia dan derajatnya sangat agung, baik saat hidup atau setelah wafat. Bagaimana mungkin beliau disambut dengan cara seperti itu, sedangkan beliau berada di alam Barzah yang tidak mungkin kembali dan hadir ke dunia lagi. Disamping itu, kehadiran Rasul ﷺ ke dunia merupakan keyakinan batil karena termasuk perkara ghaib yang tidak bisa ditetapkan kecuali berdasarkan wahyu Allah k, dan bukan dengan logika atau qiyâs. Bahkan, pengagungan dengan cara tersebut merupakan perkara bid’ah. Pengagungan Nabi ﷺ terwujud dengan cara menaatinya, melaksanakan perintahnya, menjauhi larangannya, dan mencintainya.

Melakukan amalan bid’ah, khurafat, dan pelanggaran, bukan merupakan bentuk pengagungan terhadap Nabi ﷺ . Demikian juga dengan acara perayaan maulid Nabi ﷺ , perbuatan tersebut termasuk bid’ah yang tercela.

Manusia yang paling besar pengagungannya kepada Nabi ﷺ adalah para sahabat g -semoga Allah meridhai mereka- sebagaimana perkataan Urwah bin Mas’ûd kepada kaum Quraisy: “Wahai kaumku, demi Allah, aku pernah menjadi utusan kepada raja-raja besar, aku menjadi utusan kepada Kaisar, aku pernah menjadi utusan kepada Kisra dan Najasyi, demi Allah aku belum pernah melihat seorang raja yang diagungkan oleh pengikutnya sebagaimana pengikut Muhammad ﷺ mengagungkan Muhammad ﷺ. Tidaklah Muhammad ﷺ meludah kemudian mengenai telapak tangan seseorang di antara mereka, melainkan mereka langsung mengusapkannya ke wajah dan kulit mereka. Apabila ia memerintahkan suatu perkara, mereka bersegera melaksanakannya. Apabila beliau ﷺ berwudhu, mereka saling berebut bekas air wudhunya. Apabila mereka berkata, mereka merendahkan suaranya dan mereka tidak berani memandang langsung kepadanya sebagai wujud pengagungan mereka”.10

Bentuk pengagungan para sahabat kepada Nabi ﷺ di atas sangat besar. Namun, mereka tidak pernah mengadakan acara maulid dan kemudian berdiri dengan keyakinan ruh Rasul ﷺ sedang hadir di tengah mereka. Seandainya perbuatan tersebut disyariatkan, niscaya mereka tidak akan meninggalkannya.

Jika para pembela maulid tersebut berdalih dengan hadîts Nabi ﷺ ,’Berdirilah kalian untuk tuan atau orang yang paling baik di antara kalian. 11, maka alasan ini tidak tepat.

Memang benar Imam Nawawi رحمه الله berpendapat bahwa pada hadits di atas terdapat anjuran untuk berdiri dalam rangka menyambut kedatangan orang yang mempunyai keutamaan,12. Namun, tidak dilakukan kepada orang yang telah wafat meskipun terhadap Rasulullah ﷺ . Bahkan pendapat yang benar, hadits tersebut sebagai anjuran dan perintah Rasul ﷺ kepada orang-orang Anshar g agar berdiri dalam rangka membantu Sa’ad bin Muadz رضي الله عنه turun dari keledainya, karena dia sedang terluka parah, bukan untuk menyambut atau menghormatinya, apalagi mengagungkannya secara berlebihan.13

  • Kesalahan Ketiga

Penulis kitab Barzanji mengajak untuk mengkultuskan Nabi ﷺ secara berlebihan dan menjadikan Nabi sebagai tempat untuk meminta tolong dan bantuan sebagaimana pernyataannya.

فِيْكَ قَدْ أَحْسَنْتُ ظَنِّيْ

يَا بَشِيْرُ يَانَذِيْرُ

فَأَغِثْنِيْ وَأَجِن

يَا مُجِيْرُ مِنَ السَّعِيْرِ

يَاغَيَاثِيْ يَا مِلَاذِيْ

فِيْ مُهِمَّاتِ الأُمُوْرِ

Padamu sungguh aku telah berbaik sangka.

Wahai pemberi kabar gembira wahai pemberi peringatan.

Maka tolonglah aku dan selamatkanlah aku.

Wahai pelindung dari neraka Sa’ir.

Wahai penolongku dan pelindungku.

Dalam perkara-perkara yang sangat penting (suasana susah dan genting).

Sikap berlebihan kepada Nabi ﷺ , mengangkatnya melebihi derajat kenabian dan menjadikannya sekutu bagi Allah سبحانه وتعالى dalam perkara ghaib dengan memohon kepada beliau ﷺ dan bersumpah dengan nama beliau ﷺ merupakan sikap yang sangat dibenci Rasulullah n, bahkan termasuk perbuatan syirik. Do’a dan tindakan tersebut menyakiti serta menyelisihi petunjuk dan manhaj dakwah beliau ﷺ, bahkan menyelisihi pokok ajaran Islam yaitu tauhîd. Nabi ﷺ telah mengkhawatirkan akan terjadinya hal tersebut, sehingga beliau ﷺ bersabda: “Janganlah kamu berlebihan dalam mengagungkanku sebagaimana kaum Nasrani berlebihan ketika mengagungkan Ibnu Maryam. Aku hanyalah seorang hamba , maka katakanlah aku adalah hamba dan utusan-Nya”. 14

Telah dimaklumi, bahwa kaum Nasrani menjadikan Nabi Isa q sebagai sekutu bagi Allah سبحانه وتعالى dalam peribadatan mereka. Mereka berdoa kepada Nabi-nya dan meninggalkan berdoa kepada Allah k, padahal ibadah tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah k. Nabi ﷺ telah memberikan peringatan kepada umatnya agar tidak menjadikan kuburan beliau sebagai tempat berkumpul dan berkunjung, sebagaimana dalam sabdanya ﷺ : “Janganlah kamu jadikan kuburanku tempat berkumpul, bacalah salawat atasku, sesunggguhnya salawatmu akan sampai kepadaku dimanapun kamu berada”. 15

Nabi ﷺ memberikan peringatan keras kepada umatnya tentang sikap berlebihan dalam menyanjung dan mengagungkan beliau ﷺ . Bahkan, ketika ada orang yang berlebihan dalam mengagungkan Nabi ﷺ , mereka berkata: “Engkau Sayyid kami dan anak sayyid kami, engkau orang terbaik di antara kami, dan anak dari orang terbaik di antara kami”, maka Nabi ﷺ bersabda kepada mereka: “Katakanlah dengan perkataanmu atau sebagiannya, dan jangan biarkan syaitan menggelincirkanmu”.16

Termasuk perbuatan yang berlebihan dan melampui batas terhadap Nabi ﷺ adalah bersumpah dengan nama beliau ﷺ , karena sumpah adalah bentuk pengagungan yang tidak boleh diberikan kecuali kepada Allah k. Nabi b bersabda: “Barangsiapa bersumpah hendaklah bersumpah dengan nama Allah k, jikalau tidak bisa hendaklah ia diam”. 17

Cukuplah dengan hadits tentang larangan bersikap berlebihan dalam mengagungkan Nabi ﷺ menjadi dalil yang tidak membutuhkan tambahan dan pengurangan. Bagi setiap orang yang ingin mencari kebenaran, niscaya ia akan menemukannya dalam ayat dan hadits tersebut, dan hanya Allah-lah yang memberi petunjuk.

  • Kesalahan Keempat

Penulis kitab Barzanji menurunkan beberapa shalawat bid’ah yang mengandung pujian yang sangat berlebihan kepada Nabi ﷺ .

Para pengagum kitab Barzanji mengangga bahwa membaca shalawat kepada nabi Muhammad ﷺ merupakan ibadah yang sangat terpuji. Sebagaimana firman Allah عزوجل :

اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًااِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

Sesungguhnya Allah عزوجل dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi b. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi ﷺ dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (Qs al-Ahzâb/ 33:56).

Ayat ini yang mereka jadikan sebagai dalil untuk membaca kitab tersebut pada setiap peringatan maulid Nabi ﷺ . Padahal, ayat di atas merupakan bentuk perintah kepada umat Islam agar mereka membaca shalawat di manapun dan kapanpun tanpa dibatasi saat tertentu seperti pada perayaan maulid Nabi n­.

Tidak dipungkiri bahwa bersalawat atas Nabi ﷺ terutama ketika mendengar nama Nabi ﷺ disebut sangat dianjurkan. Apabila seorang muslim meninggalkan salawat atas Nabi ﷺ , ia akan terhalang dari melakukan hal-hal yang bisa mendatangkan manfaat, baik di dunia dan akhirat, karena:

  • Terkena doa Nabi ﷺ yaitu sabda beliau ﷺ : “Sungguh celaka bagi seseorang yang disebutkan namaku di sisinya, namun ia tidak bersalawat atasku”.18
  • Mendapatkan gelar bakhil dari Nabi ﷺ , Beliau ﷺ bersabda: “Orang bakhîl adalah orang yang ketika namaku disebut di sisinya, ia tidak bersalawat atasku”.19
  • Tidak mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah سبحانه وتعالى , karena meninggalkan membaca salawat dan salam atas Nabi ﷺ dan keluarganya. Nabi ﷺ bersabda: “Barangsiapa membaca salawat atasku sekali, maka Allah سبحانه وتعالى bersalawat atasnya sepuluh kali”. 20
  • Tidak mendapatkan keutamaan salawat dari Allah سبحانه وتعالى dan para Malaikat. Allah سبحانه وتعالى berfirman:”Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya memohonkan ampunan untukmu, supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya yang terang dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman. (Qs al-Ahzâb/ 33:43 ).

Bahkan, membaca shalawat menyebabkan hati menjadi lembut, karena membaca shalawat termasuk bagian dari dzikir. Dengan dzikir, hati menjadi tenteram dan damai sebagaimana firman Allah سبحانه وتعالى : “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah k. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram”. (Qs Ar-Ra’du/ 13:28). Tetapi dengan syarat membaca shalawat secara benar dan ikhlas karena Allah سبحانه وتعالى semata, bukan shalawat yang dikotori oleh bid’ah dan khufarat serta terlalu berlebihan kepada Rasulullah ﷺ , sehingga bukan mendapat ketenteraman di dunia dan pahala di akherat, melainkan sebaliknya, mendapat murka dan siksaan dari Allahk. Siksaan tersebut bukan karena membaca shalawat, namun karena menyelisihi sunnah ketika membacanya. Apalagi, dikhususkan pada malam peringatan maulid Nabi ﷺ saja, yang jelas-jelas merupakan perayaan bid’ah dan penyimpangan terhadap Syariat.

  • Kesalahan Kelima

Penulis kitab Barzanji juga menyakini tentang Nur Muhammad ﷺ , sebagaimana yang terungkap dalam syairnya:

وَمَــا زَالَ نُوْرُ الْمُصْطَفَى مُتَنَقِّلًا

مِنَ الطَّيِّبِ الأَتْقَى لِطَاهِرِ أَرْدَانٍ

Nur Mustafa (Muhammad) terus berpindah-pindah dari sulbi yang bersih kepada yang sulbi suci nan murni. 21

Bandingkanlah dengan perkataan kaum zindiq dan sufi, seperti al-Hallaj yang berkata: “Nabi ﷺ memiliki cahaya yang kekal abadi dan terdahulu keberadaannya sebelum diciptakan dunia. Semua cabang ilmu dan pengetahuan di ambil dari cahaya tersebut dan para Nabi sebelum Muhammad ﷺ menimba ilmu dari cahaya tersebut.

Demikian juga perkataan Ibnu Arabi Atthâ’i bahwa semua Nabi sejak Nabi Adam q hingga Nabi terakhir mengambil ilmu dari cahaya kenabian Muhammad ﷺ yaitu penutup para Nabi”.22

Perlu kita diketahui bahwa ghuluw itu banyak sekali macamnya. Kesyirikan ibarat laut yang tidak memiliki tepi. Kesyirikan tidak hanya terbatas pada perkataan kaum Nasrani saja, karena umat sebelum mereka juga berbuat kesyirikan dengan menyembah patung, sebagaimana perbuatan kaum jahiliyah. Di antara mereka tidak ada yang mengatakan kepada Tuhan mereka seperti perkataan kaum Nasrani kepada Nabi Isa q , seperti ; dia adalah Allah, anak Allah, atau menyakini prinsip trinitas mereka. Bahkan mereka mengakui bahwa tuhan mereka adalah kepunyaan Allah سبحانه وتعالى dan di bawah kekuasaan-Nya. Namun mereka menyembah tuhan-tuhan mereka dengan keyakinan bahwa tuhan-tuhan mereka itu mampu memberi syafaat dan menolong mereka.

Demikian uraian sekilas tentang sebagian kesalahan kitab Barzanji, semoga bermanfaat.23

________________________________________

Footnote:

1 Al-Munjid fî al A’lâm, 125

2 Majmûatul Mawâlid, hal. 132

3 HR.Tirmidzi dan dishahîhkan al Albâni di dalam shâhihul jam’i hadits yang ke 6468.

4 Lihat Majmûatul Mawâlid Barzanji, hal. 101.

5 Shahih diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya (348) dan Abu Daud dalam Sunannya (4718).

6 Lihat Minhâj Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, 3/ 74.

7 Aunul Ma’bûd, Abu Thayyib (12/ 324)

8 Aunul Ma’bûd, Abu Thayyib (12/ 324

9 Lihat Fikih Tradisionalisme, Muhyiddîn Abdusshâmad (277-278)

10 Diriwayatkan oleh al-Bukhâri : 3/187, no : 2731, 2732, al-Fath 5/388.

11 Shahih diriwayatkan Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (3043) dan Imam Muslim dalam Shahîhnya (1768)

12 Lihat Minhâj Syarah Shahîh Muslim, Imam Nawawi, juz XII, hal. 313.

13 Lihat Ikmâlil Mu’lim Bi Syarah Shahîh Muslim, Qadhi Iyadh, 6/ 105.

14 Shahîh diriwayatkan Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (3445)

15 Shahîh diriwayatkan oleh Abu Dâwud dengan sanad yang shahîh (2042) dan dishahîhkan oleh Syaikh Albânit dalam Ghâyatul Marâm : 125

16 Shahîh, dishahîhkan Oleh Albâni dalam Ghâyatul Marâm 127, lihatlah takhrîj beliau di dalamnya.

17 Shahîh, diriwayatkan oleh Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (2679) dan Imam Muslim dalam Shahîhnya (1646)

18 Shahîh, diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (3545), Imam Ahmad dalam Musnadnya 2/254, dan dishahîhkan oleh Albâni dalam irwâ’ : 6

19 Shahîh diriwayatkan Imam Tirmidzi dalam Sunannya (3546), Imam Ahmad dalam Musnadnya 1/201 dan dishahîhkan Albâni dalam irwâ’ : 5

20 Shahîh diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahîhnya (284).

21 Majmûatul Mawâlîd(101).

22 Lihat perinciannya dalam kitab Mahabbatur Rasûlullâh oleh Abdur Rauf Utsman (169-192).

23 Insya Allah, untuk lebih jelasnya akan penulis sampaikan dalam buku “Ritual Tradisional”. Semoga Allah ” سبحانه وتعالى memudahkan penulisan buku ini yang memuat 40 bid’ah populer di kalangan kaum tradisional di Indonesia yang meliputi, Shalawâtan, Barzanjian, Daibaan, Yasinan, Tahlilan, Ratiban, Manaqiban, Rajaban, Sya’banan, Selamatan dan bid’ah-bid’ah lain.

 

Majalah As-Sunnah Edisi 12 tahun XII 1430H 2009M


Artikel asli: https://majalahassunnah.net/artikel/barzanzi-kitab-induk-peringatan-maulid-nabi/